Senin, 19 September 2016

Cerpen

Pergi Untuk Kembali

Langit mendung berwarna jingga pada sore hari membuatku terpana dengan keindahan alam ini. Teringat akan cerita pejuang-pejuang yang telah memerdekakan negeri seribu pulau , yang selalu berada dalam suasana perang yang dulunya sangat kejam. Nelayan yang tengah mendayung sampan bak veteran yang kali ini masih ada, terlihat letih atas pekerjaan yang dilakukan. Matahari terus berjalan ke arah barat, seolah-olah memberikan isyarat kepada nelayan dan wisatwan untuk segera kembali kerumah.
Aku Fayra, umurku sudah 20 tahun. Yaaah, aku dirawat dipanti asuhan selama 15 tahun. Intinya, tempat tinggal ku selama 15 tahun dipanti asuhan. Kini aku sudah menjabat sebagai direktur perusahaan ternama australia di Indonesia. Mungkin kisahku ini sedikit rumit untuk dibaca. Selama hidupku, aku belum mengetahui sosok ibuku. Aku kesal karena tidak ada satu orang pun saudara yang aku ketahui.
 



Dering telfon dari smartphoneku terus berbunyi dan tak sedikitpun aku menghiraukannya. Pikiranku terus melayang seperti tidak mendengar suara apapun. Seorang pria tua berbaju kaus, memakai topi, dan bertubuh tinggi berdiri disampingku. Tentu saja aku tak mengenali sosoknya itu. Setelah sekian lama, smartphoneku terus-terusan berdering.
“itu hpnya kok gak diangkat? Mungkin penting”  tersenyum tipis. Aku tak mengeluarkan sepatah kata pun, dan bergumam didalam hati “ini orang siapa sih?? Caper banget, kenal juga enggak” sambil mendengus kesal. Pria tua itu seperti bisa membaca pikiranku dan berkata “kenalkan saya Kemal. Memang benar kamu tidak kenal dengan saya, tapi apa salahnya kalau kita berkenalankan?” , Pria tua itu terus berkicau walaupun aku  cuek tidak menghiraukannya.
“panggil saja saya paman” pria tua –yang katanya bernama kemal tadi- masih tetap bicara tanpa menghiraukan aku yang bingung menatapnya heran. Memang, semenjak aku berumur 5 tahun aku tidak dapat mendapatkan belaian kasih sayang dari yang namanya ibu. Karena setauku, aku sudah ‘dipelihara’ dipanti asuhan sejak ibu dan bapak tak ada lagi. Dan aku tidak lagi memiliki keluarga dimanapun. “ini ada surat untukmu” kata pria tua itu membuyarkan lamunanku, seraya menyodorkan sebuah surat yang nanti setelah kuketahui isinya permintaan maaf dan ia adalah pamanku sendiri.
 “surat? Bapak siapa?” tanyaku yang semakin keheranan atas kelakuannya. Dia menjawab “ kamu akan tahu nanti. Baiklah, saya ada sedikit tugas . saya pamit dulu” dia tersenyum tipis lalu bergegas meninggalkanku yang  masih bingung melihatnya.
Aku menaiki jazz berwarna merah yang terparkir diparkiran atas. Lalu membayar jasa parkir Rp.2.000 dan melajukan mobil menuju rumah. Aku masih teringat surat tersebut. Aku merasakan ada hal yang ganjil dan mempunyai firasat bahwa pria tadilah yang telah membunuh kedua orangtuaku. “dasar” gumamku sambil memukul stir mobil.
All I Ask- adele, aku memilih lagu itu sebagai penenang hatiku yang sedang dipenuhi amarah. Mataku tertuju tepat pada “surat keramat” itu. Dibagian depannya tertulis “to fayra”. Aku menghentikan laju mobilku hanya untuk membaca “surat keramat” yang diberikan pria tua tadi-paman katanya. Penasaran . aku ingin segera tahu apa isi suratnya.
Ketika kamu membaca surat ini, paman yakin kamu pasti kecewa dan sedih. Maafkan paman yang telah menitipkanmu di panti asuhan. Bukan karena paman tidak mau menjagamu, tetapi paman takut tidak mampu menyekolahkanmu. Dulu, bapakmu berpesan pada paman untuk menjagamu dan sekaligus menjadi walimu. Tapi, paman sudah mengingkarinya. Sekarang kamu sudah sukses. Paman akan mengajakmu untuk berziarah ke pemakaman ayah dan ibumu. Kita akan bertemu dan menceritakan semuanya kepadamu.
Aku menelan ludah. Melihat isi surat yang dikira dari pembunuh orangtuaku. Dia melampirkan alamat rumahnya. Lalu aku melihat sebuah lipatan surat lagi, lalu paman menuliskan ”ini juga ada surat yang dulunya ibumu pernah titipkan ke saya”
Aku membuka lipatan surat itu yang langsung hanyut dalam setiap katanya
“ketika wanita menangis,
Itu bukan berarti dia sedang mengeluarkan senjata terampuhnya,
Melainkan berarti dia sedang mengeluarkan senjata terakhirnya.
Ketika wanita menangis,
Itu bukan berarti dia tidak berusaha menahannya,
Melainkan karena pertahanannya sudah tak mampu lagi membendung air matanya.
Fay, bila ibu telah tiada, jangan pernah menangisi ibu.
Kamu adalah wanita hebat, sayang.
Kamu akan menjadi orang sukses.
Ibu menyayangi kamu, nak.
Semoga kamu selalu dalam lindungan Allah.
All best wishes for you. Happy 20th years old, fay
Deg. Detak jantungku seakan telah berhenti. Aku melayang seperti mempunyai sayap yang besar. Ibu? Bapak? Paman? Nyatakah? Atau hanya mimpi?
Paman! Yaa, aku masih memiliki saudara. Aku masih memiliki paman.
Aku terharu, sedih, dan juga kesal. Aku terharu sekaligus senang telah menemukan paman. Tapi sedikit kesal dengan kelakuan paman yang menitipkanku ke panti asuhan yang selama itu aku tidak tahu menahu tentang bagaimana keluargaku. Dan tentu saja aku merasa sangat sedih teringat ibu yang tidak pernah kujumpai. “aku kangen kamu wanita terhebatku. Hari ini hari dimana aku bisa melihat dunia-dua puluh tahun silam-. Bisakah melihatmu kembali? Aku butuh ibu” aku mengucurkan air mata sambil mendekapkan surat itu ke dadaku.
Kesalahpahamanku selama ini, sekarang sudah terungkap. I-get-it. Aku telah menemukan sosok keluarga meskipun hanya seorang paman. Walaupun tidak seperti segelintir manusia yang sejak kecil mendapat belaian kasih sayang dari yang namanya ibu. Memiliki keluarga yang lengkap dan harmonis.  Sedangkan aku? Aku hanya mempunyai teman dan itu hanya-sebatas-teman. Tidak lebih.
Air mataku terus menetes. Akhirnya, untuk pertama kalinya setelah sekian lama aku menangis. “sial!” geramku didalam hati.
“love you mom, aku sayang kamu walaupun kita bertemu hanya 5 tahun, gak akan ada yang bisa gantiin ibu, walaupun aku gak pernah rasain gimana hangatnya ketika memeluk seorang ibu. Ibu yang terbaik, walaupun aku tidak mendengar cerita malam yang umum dilakukan ibu kepada anaknya ketika hendak tidur, dan walaupun aku gak pernah merasakan rasanya berada didekat seorang ibu.”
Setelah berlarut dalam kesedihannya, aku kembali teringat akan paman. Aku harus bertemu paman. Lalu aku melihat alamat yang telah diberikan oleh paman dalam surat tadi. Aku  menghubungi nomor yang juga tertera dalam surat tadi. Setelah terjadi percakapan singkat, aku mengatakan bahwa aku ingin datang kerumah paman nanti malam. Lalu melajukan lagi mobil ke rumah.
Matahari kembali ke peraduannya, sementara aku sibuk bersiap-siap untuk datang kerumah paman. Setelah beberapa lama adzan isya dan aku pun telah menunaikannya, aku langsung megendarai mobilku ke alamat rumah paman. Setiba dihalaman rumahnya, aku langsung disambutnya dengan hangat. Lalu dipersilahkan masuk.
“duduklah, aku ingin membuat teh dulu” sambil mempersilahkan aku duduk. Lalu dia berbicara lagi tanpa menghiraukanku yang merasa asing “apa kabarmu fay? Sudah besar rupanya anak ibumu itu” sambil tersenyum lagi. Dia menyeduh teh ke gelas ku lalu duduk di kursi depanku. Aku langsung bertanya “ bagaimana ceritanya, paman? Ibuku meninggal”
Dia meletakkan gelasnya lalu mulai bercerita panjang lebar tentang orangtuaku. Orangtuaku terbunuh, dan sampai kini pun pembunuhnya belum ditemukan. Setelah selesai bercerita panjang lebar tentang orangtuaku, aku minta pamit diri untuk pulang. Besok paman mengajakku ke kuburan ayah dan ibu. Aku melajukan mobilku dengan perasaan yang sudah sedikit tenang.
Esoknya aku telah sampai ke kuburan yang diberi tahu paman, dan menunggunya datang. Setelah honda butut -yang tak layak pakai pada jaman itu- paman diparkirkan, kami  menuju kuburan yang sangat berdekatan dan dibatu nisannya tertulis “nunung sari binti abdul wahab” dan yang disebelahnya tertulis “syahdan bin makmur”. Aku duduk dan menagis haru sambil membacakan doa kepada kedua orangtuaku, dan menceritakan pahit-manis kehidupanku selama ini sehingga aku bisa menjadi seperti sekarang ini diatas kuburannya.
“.... And in the end, the love we take is equal to the love we make”

(The Beatles)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar