Pergi
Untuk Kembali
Langit mendung berwarna jingga pada sore hari membuatku
terpana dengan keindahan alam ini. Teringat akan cerita pejuang-pejuang yang
telah memerdekakan negeri seribu pulau , yang selalu berada dalam suasana
perang yang dulunya sangat kejam. Nelayan yang tengah mendayung sampan bak
veteran yang kali ini masih ada, terlihat letih atas pekerjaan yang dilakukan.
Matahari terus berjalan ke arah barat, seolah-olah memberikan isyarat kepada
nelayan dan wisatwan untuk segera kembali kerumah.
Aku Fayra, umurku sudah 20 tahun. Yaaah, aku dirawat dipanti
asuhan selama 15 tahun. Intinya, tempat tinggal ku selama 15 tahun dipanti
asuhan. Kini aku sudah menjabat sebagai direktur perusahaan ternama australia
di Indonesia. Mungkin kisahku ini sedikit rumit untuk dibaca. Selama hidupku,
aku belum mengetahui sosok ibuku. Aku kesal karena tidak ada satu orang pun
saudara yang aku ketahui.
Dering telfon dari smartphoneku terus berbunyi dan tak
sedikitpun aku menghiraukannya. Pikiranku terus melayang seperti tidak
mendengar suara apapun. Seorang pria tua berbaju kaus, memakai topi, dan
bertubuh tinggi berdiri disampingku. Tentu saja aku tak mengenali sosoknya itu.
Setelah sekian lama, smartphoneku terus-terusan berdering.
“itu hpnya kok gak diangkat? Mungkin penting” tersenyum tipis. Aku tak mengeluarkan sepatah
kata pun, dan bergumam didalam hati “ini orang siapa sih?? Caper banget, kenal
juga enggak” sambil mendengus kesal. Pria tua itu seperti bisa membaca
pikiranku dan berkata “kenalkan saya Kemal. Memang benar kamu tidak kenal
dengan saya, tapi apa salahnya kalau kita berkenalankan?” , Pria tua itu terus
berkicau walaupun aku cuek tidak
menghiraukannya.
“panggil saja saya paman” pria tua –yang katanya bernama
kemal tadi- masih tetap bicara tanpa menghiraukan aku yang bingung menatapnya
heran. Memang, semenjak aku berumur 5 tahun aku tidak dapat mendapatkan belaian
kasih sayang dari yang namanya ibu. Karena setauku, aku sudah ‘dipelihara’
dipanti asuhan sejak ibu dan bapak tak ada lagi. Dan aku tidak lagi memiliki
keluarga dimanapun. “ini ada surat untukmu” kata pria tua itu membuyarkan
lamunanku, seraya menyodorkan sebuah surat yang nanti setelah kuketahui isinya
permintaan maaf dan ia adalah pamanku sendiri.
“surat? Bapak siapa?”
tanyaku yang semakin keheranan atas kelakuannya. Dia menjawab “ kamu akan tahu
nanti. Baiklah, saya ada sedikit tugas . saya pamit dulu” dia tersenyum tipis
lalu bergegas meninggalkanku yang masih
bingung melihatnya.
Aku menaiki jazz berwarna merah yang terparkir diparkiran
atas. Lalu membayar jasa parkir Rp.2.000 dan melajukan mobil menuju rumah. Aku masih
teringat surat tersebut. Aku merasakan ada hal yang ganjil dan mempunyai firasat
bahwa pria tadilah yang telah membunuh kedua orangtuaku. “dasar” gumamku sambil
memukul stir mobil.
All I Ask- adele, aku memilih lagu itu sebagai penenang
hatiku yang sedang dipenuhi amarah. Mataku tertuju tepat pada “surat keramat”
itu. Dibagian depannya tertulis “to fayra”. Aku menghentikan laju mobilku hanya
untuk membaca “surat keramat” yang diberikan pria tua tadi-paman katanya.
Penasaran . aku ingin segera tahu apa isi suratnya.
Ketika kamu membaca
surat ini, paman yakin kamu pasti kecewa dan sedih. Maafkan paman yang telah
menitipkanmu di panti asuhan. Bukan karena paman tidak mau menjagamu, tetapi
paman takut tidak mampu menyekolahkanmu. Dulu, bapakmu berpesan pada paman
untuk menjagamu dan sekaligus menjadi walimu. Tapi, paman sudah mengingkarinya.
Sekarang kamu sudah sukses. Paman akan mengajakmu untuk berziarah ke pemakaman
ayah dan ibumu. Kita akan bertemu dan menceritakan semuanya kepadamu.
Aku menelan ludah. Melihat isi surat yang dikira dari
pembunuh orangtuaku. Dia melampirkan alamat rumahnya. Lalu aku melihat sebuah lipatan
surat lagi, lalu paman menuliskan ”ini
juga ada surat yang dulunya ibumu pernah titipkan ke saya”
Aku membuka lipatan surat itu yang langsung hanyut dalam
setiap katanya
“ketika wanita menangis,
Itu bukan berarti dia sedang
mengeluarkan senjata terampuhnya,
Melainkan berarti dia sedang
mengeluarkan senjata terakhirnya.
Ketika wanita menangis,
Itu bukan berarti dia tidak
berusaha menahannya,
Melainkan karena pertahanannya
sudah tak mampu lagi membendung air matanya.
Fay, bila ibu telah tiada, jangan
pernah menangisi ibu.
Kamu adalah wanita hebat, sayang.
Kamu akan menjadi orang sukses.
Ibu menyayangi kamu, nak.
Semoga kamu selalu dalam
lindungan Allah.
All best wishes for you. Happy 20th
years old, fay
Deg. Detak jantungku seakan telah berhenti. Aku
melayang seperti mempunyai sayap yang besar. Ibu? Bapak? Paman? Nyatakah? Atau
hanya mimpi?
Paman! Yaa, aku masih memiliki saudara. Aku masih
memiliki paman.
Aku terharu, sedih, dan juga kesal. Aku terharu sekaligus
senang telah menemukan paman. Tapi sedikit kesal dengan kelakuan paman yang
menitipkanku ke panti asuhan yang selama itu aku tidak tahu menahu tentang
bagaimana keluargaku. Dan tentu saja aku merasa sangat sedih teringat ibu yang
tidak pernah kujumpai. “aku kangen kamu wanita terhebatku. Hari ini hari dimana
aku bisa melihat dunia-dua puluh tahun silam-. Bisakah melihatmu kembali? Aku
butuh ibu” aku mengucurkan air mata sambil mendekapkan surat itu ke dadaku.
Kesalahpahamanku selama ini, sekarang sudah terungkap.
I-get-it. Aku telah menemukan sosok keluarga meskipun hanya seorang paman.
Walaupun tidak seperti segelintir manusia yang sejak kecil mendapat belaian
kasih sayang dari yang namanya ibu. Memiliki keluarga yang lengkap dan
harmonis. Sedangkan aku? Aku hanya
mempunyai teman dan itu hanya-sebatas-teman. Tidak lebih.
Air mataku terus menetes. Akhirnya, untuk pertama
kalinya setelah sekian lama aku menangis. “sial!” geramku didalam hati.
“love you mom, aku sayang kamu walaupun kita bertemu hanya 5
tahun, gak akan ada yang bisa gantiin ibu, walaupun aku gak pernah rasain
gimana hangatnya ketika memeluk seorang ibu. Ibu yang terbaik, walaupun aku
tidak mendengar cerita malam yang umum dilakukan ibu kepada anaknya ketika
hendak tidur, dan walaupun aku gak pernah merasakan rasanya berada didekat
seorang ibu.”
Setelah berlarut dalam kesedihannya, aku kembali teringat
akan paman. Aku harus bertemu paman. Lalu aku melihat alamat yang telah
diberikan oleh paman dalam surat tadi. Aku menghubungi nomor yang juga tertera dalam
surat tadi. Setelah terjadi percakapan singkat, aku mengatakan bahwa aku ingin
datang kerumah paman nanti malam. Lalu melajukan lagi mobil ke rumah.
Matahari kembali ke peraduannya, sementara aku sibuk
bersiap-siap untuk datang kerumah paman. Setelah beberapa lama adzan isya dan
aku pun telah menunaikannya, aku langsung megendarai mobilku ke alamat rumah
paman. Setiba dihalaman rumahnya, aku langsung disambutnya dengan hangat. Lalu
dipersilahkan masuk.
“duduklah, aku ingin membuat teh dulu” sambil mempersilahkan
aku duduk. Lalu dia berbicara lagi tanpa menghiraukanku yang merasa asing “apa
kabarmu fay? Sudah besar rupanya anak ibumu itu” sambil tersenyum lagi. Dia
menyeduh teh ke gelas ku lalu duduk di kursi depanku. Aku langsung bertanya “
bagaimana ceritanya, paman? Ibuku meninggal”
Dia meletakkan gelasnya lalu mulai bercerita panjang lebar
tentang orangtuaku. Orangtuaku terbunuh, dan sampai kini pun pembunuhnya belum
ditemukan. Setelah selesai bercerita panjang lebar tentang orangtuaku, aku
minta pamit diri untuk pulang. Besok paman mengajakku ke kuburan ayah dan ibu.
Aku melajukan mobilku dengan perasaan yang sudah sedikit tenang.
Esoknya aku telah sampai ke kuburan yang diberi tahu paman,
dan menunggunya datang. Setelah honda butut -yang tak layak pakai pada jaman
itu- paman diparkirkan, kami menuju
kuburan yang sangat berdekatan dan dibatu nisannya tertulis “nunung sari binti
abdul wahab” dan yang disebelahnya tertulis “syahdan bin makmur”. Aku duduk dan
menagis haru sambil membacakan doa kepada kedua orangtuaku, dan menceritakan
pahit-manis kehidupanku selama ini sehingga aku bisa menjadi seperti sekarang
ini diatas kuburannya.
“.... And in the end, the love we take is equal to the love
we make”
(The Beatles)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar